Sistem Ekonomi Feodal

Mengenal Feodalisme.
Pada abad petengahan di eropa yakni yang dimulai dengan runtuhnya Romawi dan berakhir pada masa renaisanse abad ke-14, sekitar abad ke-3 Romawi pecah menjadi dua wilayah yakni Romawi barat dan Romawi Timur, waktu-waktu tersebut merupakan permulaan munculnya perekonomian yang biasanya kita sebut sistem feodalisme.
Beberapa faktor yang memunculkan perekonomian tersebut antara lain : hancurnya organisasi politik secara besar-besaran, pertempuran di eropa yang menyebabkan jatuhnya Romawi, hukum dan tata tertib hilang digantikan dengan peraturan Negara-negara kecil.
Permasalahan yang muncul ialah untuk menunjukkan luasnya konsekuensi-konsekuensi yang timbul sebagai akibat kehancuran politik. Karena keamanan dikuasai oleh penguasa-penguasa setempat, membawa barang dagangan menjadi sangat sulit dan penghidupan yang mewah di kota-kota menjadi tidak karuan. Dengan tidak adanya kesatuan mata dan hukum, maka pedagang disana tidak dapat lagi berdagang dengan pedagang Roma, sehingga jaringan hubungan ekonomi yang dulunya sudah ada menjadi berantakan. Kematian penduduk desa akibat penyakit dan peperangan, orang terpaksa beralih kepada bentuk organisasi yang paling depensif, yaitu suatu organisasi yang bertujuan untuk mempertahankan hidup dengan melengkapi sendiri segala kebutuhan hidupnya. Suatu tantangan lain timbul, yaitu keharusan untuk mengecilkan organisasi masyarakat yang ada sampai luas dan sekecil mungkin. Ini yang dinamakan penghidupan ekonmi tertutup dimana mampu bertahan selam berabad-abad.

Manor
Keharusan untuk mencukupi semua kebutuhan hidup menyebabkan timbulnya suatu organisasi yang baru, yaitu pertanian bangsawan atau manorial estate, selanjutnya disebut manor. Bagaimanakah bentuk manor ini? Manor meliputi sebidang tanah yang luas milik seorang bangsawan atau gereja. Manor merupakan suatu kesatuan sosial dan politik, dimana pemilik manor bukan hanya menjadi tuan tanah, tapi juga sebagai penguasa, pelindung, hakim dan kepala kepolisian. Walaupun bangsawa ini termasuk dalam suatu hirarki yang besar, dimana dia menjadi hamba dari bangsawan yang lebih tinggi, tapi dalam batas-batas manornya dia merupakan tuan tanah. Dia adalah pemillik dan penguasa yang tak diragukan lagi oleh orang-orang dan budak-budak yang hidup di manornya. Orang yang hidup diatas tanahnya dianggap oleh tuan tanah sebagai miliknya sebgaimana halnya rumah, tanah dan tanaman. Disekililing rumah bangsawan terdapat lading rakyat yang telah dibagi-bagikan luasnya (satu) 1 atau (satu setengah) 1 ½ setengah hektar. ½ atau lebih dari hasil lading ini menjadi milik tuan tanah, sedangkan sisanya untuk orang yang menggarapnya yang terdiri dari orang merdeka dan budak belian. Disini terjadi ketimpangan antara budak belian dan tuan tanah.

Orang merdeka atau dalam kalangan apapun seseorang dilahirkan, orang yang merdeka yang memiliki sendiri tanahnya tak dapat menjualnya pada tuan tanah yang lain. Pemilikannya sebenarnya berarti bahwa dia tidak dapat diusir dari tanahnya, kecuali dalam keadaan darurat. Orang yang lebih rendah dari budak tidak mempunyai hak ini. Seorang budak belian terikat pada tanah yang dikerjakannya, tanpa ijin dan keterangan yang kuat, dia tidak akan didijinkan untuk meniggalkan baik masih dalam batas-batas manor tuannya maupun pada manor bangsawan lainnya. Berdasarkan statusnya timbul serentetan kewajiban-kewajiban yang menjadi dasar dari organisasi ekonomi manor. Kewajiban-kewajiban ini dapat berupa keharusan bekerja untuk tuan tanah dan lain sebgainya. Kewajiban ini berbeda-beda antara manor yang satu dengan manor lainnya, pada tempat-tempat tertentu mereka harus bekerja lima hari dalam seminggu untuk tuan tanahnya, sehingga tanahnya sendiri dikerjakan oleh keluarganya (anak dan istrinya). Dan akhirnya budak belian juga harus membayar beberapa macam pajak, seperti pajak kepala, pungutan kematian, pajak kawin atau iuran untuk pemakaian pabrik atau tungku. Jika budak belian memberikan tenaganya untuk tuan tanah, maka sebagai imbalannya si tuan tanah memberikan sesuatu yang tadak dapat diusahakan sendiri oleh sang budak. Yang utama yaitu menjamin keamanan fisik.

Petani merupakan sasaran utama para perampok atau musuh, mereka tidak berdaya kalau ditangkapi dan tidak mampu melindungi miliknya terhadap perampokan. Dari hal itu mereka butuh perlindungan dan tidak heran meskipun budak merdeka memberikan pengabdiannya pada tuan tanah. Dan sebagai imbalan pengabdian mereka dalam hal politik, ekonomi dan social ini, mereka mendapat perlindungan dari tuan tanah. Disamping itu tuan tanah juga memberikan suatu bentuk keamanan ekonomi. Pada saat-saat bahaya kelaparana melanda, tuan tanahlah yang memberi makan mereka dari simpanan di gudangnya. Walaupun meraka harus membayarnya, budak belian itu dibolehkan memakai peralatan dan ternak tuan tanah untuk mengerjakan tanahnya ataupun tanah tuannya. Pada saat-saat budak belian tidak punya alat-alat produksi, maka mereka akan diberi alat-alat tersebut dengan Cuma-Cuma kepada sang Budak.

Beberapa hal yang perlu diketahu dalam perekonomian lingkungan manor yakni, yang pertama masyarakat diatur dan disusun menurut tradisi, karena tidak adanya pemerintah pusat yagn kuat, maka palaksanaan intruksi dari ataspun sangat lemah. Akibatnya laju perubahan dan perkembangan ekonomi masyarakat ini menjadi dangat lambat selama abad pertengahan. Yang kedua, peredaran uang sedikit sekali, karena manor hanya mencukupi kebutuhannya sendiri tidak menjual hasil produksinya ke kota-kota, maksimal hanya kebutuhan kota kecil setempat. Tidak ada manor yang memenuhi kebutuhannya sedemikian rupa sehingga hubungan dengan dunia luar tidak terjalin sama sekali, bahkan beberapa budak membeli kebutuhan karena banyak barang-barang yang tidak mampu dihasilaknnya sendiri. Hal diatas menyebabkan sedikit sekali peredaran uang yang terjadi.

Penggarap tanah membayar kewajibannya kepada tuan tanah dalam berbagai bentuk, setiap budak harus bekerja beberapa hari tertentu dan memberikan barang-barang tertentu seperti telor, ayam, itik, babi dan lain sebagainya. Memang benar untuk barang-barang yang diberikannya mereka dibayar ala kadarnya tapi kalau dibandingkan denga keseluruhannya jumlahnya tidak berarti, sehingga dapat disimpulkan bahwa seluruh perekonomian manor merupakan suatu perekomian alami, karena perekonomian ini tidak tergantung pada perdagangan yang memerlukan peredaran uang.

Dari uraian diatas kita dapat memahami secara umum sistem feodal yang terjadi pada abad pertengahan, yang mana suatu sistem dalam masyarakat saat itu terdapat dua kelas sosial yaitu kelas penguasa tuan tanah dan kelas pekerja yakni para budak belian. Tulisa ini menjadi gambaran yang menarik tentang kehidupan di zaman Feodal, hubungan dianatara tuan tanah dengan hambanya sering bersifat eksploitasi yang ekstrim. Tapi pada dasarnya masih terlihat suatu hubungan yang saling menguntungkan, masing-masing pihak memberikan imbalan-imbalan yang sangat penting untuk mempertahankan kehidupan dalam keadaan dimana organisasi dan stabilitas politik sudah tidak terorganisir lagi.

Demikian tulisan ini, sebagian besar kawan-kawan sudah banyak mengetahui tentang Feodalisme, ataupun hanya sekedar pernah mendengar kata-kata feodal selalu disebut dalam diskusi ekonomi sosial, dengan tulisan ini mungkin kawan-kawan sudah tidak meraba-raba lagi tentang apa yang dinamakan feodalisme.

Terima Kasih …!
Read More - Sistem Ekonomi Feodal

Ilmu Sosiologi

 A. Tentang Teori, Membaca dan berteori.
Ketika menyaksikan orang berbicara, dengan mudah kita sering menyatakan “ah…anda berteori”. Sadar atau tidak, semua orang sebenarnya berteori. Orang tua menasehati anaknya, dengan membandingkan perilaku anak tetangga, sesungguhnya dia berteori. Komentar penonton bola di di depan Televisi, dengan mengatakan si A begini, si B begitu, seorang mahasiswa menjelaskan mengapa nilai ujian temannya buruk, seorang dokter, pengacara politisi berbicara tentang apa, mengapa, semuanya sesungguhnya berteori. Persoalannya, orang tidak selalu sadar mengenai penjelasannya, ramalannya, asumsi-asumsi atau struktur logis dari pendapatnya itu. Semuanya dilakukkan bersifat implisit, dan orang selalu berbeda-beda di dalam membangun asumsi-asumsi teoritiknya itu, yang dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman sosial dan orientasi intelektualnya. Ringkasnya, kita semua berteori, dalam proses menciptakan dan mempertahankan kenyataan sosial, meskipun kita tidak menganggap diri sendiri sebagai ahli teori sosial. Hal penting yang perlu dicatat pula bahwa dalam kehidupan sosial, kita juga tidak selalu menghargai atau sekedar mengetahui bahwa asumsi-asumsi yang kita pakai diciptakan oleh orang-orang lain. Sesungguhnya, sebuah asumsi-asumsi akan berubah menjadi eksplisit jika pendapat seseorang itu dianut oleh kebanyakan orang. Menyadari kemungkinan ini, setiap teori implisit hendaknya ‘tunduk’ kepada keharusan pengujian-pengujian kebenaran. Dari sinilah muncul teori yang lebih eksplisit-formal, sehingga keabsahan menjadi analisis yang obyektif terpenuhi, dimana orang bisa memberi penilaian atau mempelajarinya. Bagian teori yang kita kenal dan kita pelajari dari berbagai hasil ciptaan para ahli teori adalah contoh teori eksplisit yang sudah mengalami proses pengujian-pengujian kebenaran.

Tetapi ketika mempelajari teori-teori eksplisit-formal tersebut, seringkali diri kita terjerumus dengan menjadikan teori sebagai dogma, dengan jalan akhir yang dibanyak sisi mengalami jalan buntu. Kita sering menemui diri kita terkerangkeng dalam sebuah ‘tembok suci’ sebuah teori, dan ‘gagal’ terlibat aktif dalam dunia yang luas dan nyata di luar tembok. Belajar teori sosiologi harus dipahami jauh dari sekedar menghafal ide-ide para ahli teori sosial, yang menempatkan hasil analisanya itu sebagai kebenaran akhir. Teori harus dipelajari karena warisan ilmiahnya bisa menjadi penuntun dalam memahami kenyataan sosial. Hanya saja kenyataan sosial itu harus diakui begitu luasnya, dan terus berkembang. Dengan demikian warisan teori itu harus dievaluasi relevansinya, sehingga terus aktual untuk menganalisis dunia sosial masa kini. Maka teori itu sesungguhnya tidak mengenal akhir.

B. Sejarah dan Konteks Sosial Lahirnya Teori Sosiologi
Perhatian intelektual terhadap masalah dan isu yang berhubungan dengan sosiologi sesungguhnya telah lama berkembang sebelum sosiologi itu menjadi disiplin ilmiah. Pada abad 18, para ahli filsafat pencerahan telah mengajarkan peranan akal budi dalam memahami perilaku manusia. Bahkan pada abad 14, penglaman kehidupan padang pasir telah melahirkan Ibn Khaldun, yang mengembangkan pengetahuan tentang prinsip-prinsip umum yang mengatur dinamika masyarakat arab, sehingga dianggap bukan ‘trah-darah’ lahirnya teori sosial modern, tetapi diakui menyumbang perspektifnya.

Di prancis, revolusi prancis beserta aktivitas-aktivitas sosialnya menjadi latar belakang sejarah bagi August Comte dalam menjelaskan sejarah perubahan sosial dalam model teoritisnya yang khas. Di Inggris, revolusi Inggris merangsang ahli-ahli teori sosial seperti Herbert Spencer dan Karl Marx (yang datang dari prancis setelah meninggalkan tanah kelahirannya Jerman) untuk mengembangkan penjelasan mengenai tipe keteraturan sosial baru yang muncul sebagai konsekuansi petumbuhan industri beserta perkembangan teknologi yang mengiringinya. Di Jerman, pertumbuhan industri beserta pergolakan politiknya, menarik perhatian Max Weber untuk memberi penjelasan tentang munculnya organisasi-organisai sosial yang semakin hirarkis dan rasional.

Gambaran sederhana mengenai kelahiran sosiologi ini tidak berarti bahwa sosiologi itu bersifat sejarah. Penting untuk membentuk pemahaman bahwa perubahan sosial yang besar dan perubahan budaya yang mendasar, telah merangsang perhatian intelektual darimana sosiologi akhirnya berkembang. Tidak ada dobrakan ilmiah atau dobrakan intelektual dari ruang kosong, dan sosiologi (mungkin ilimu-ilmu pengetahuan lainnya) sangat dipengaruhi oleh sejarah dan konteks sosialnya.

Sebagai contoh latar belakang yang langsung dari revolusi prancis yang meliputi perubahan-perubahan besar-besaran dalam struktur ekonomi, yang mengangkat kaum borjuis ke dalam satu posisi terpandang. Tetapi bukan hanya institusi ekonomi dan politik saja yang terlibat di dalamnya. Karena gereja begitu erat hubungannya dengan struktur kekuasaan feodal, tekanan-tekanan untuk perubahan politik revolusioner juga menyertakan perlawanan terhadap gereja, lembaga-lembaganya, serta kepercayaan-kepercayaannya. Salah satu hasil yang diperoleh dalam astronomi, yang mempertanyakan pandangan dunia diabad pertengahan dengan kosmologinya yang terpusat di bumi, membawa hasil Copernicu dan Galelio dikutuk. Kemunduran kepercayaan-kepercayaan agama oleh pertumbuhan mentalis ilmiah ini, melahirkan August Comte yang berpikir perlunya pandangan-pandangan baru tentang manusia dan masyarakat yang tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan.

Pada akhir abad ke 19, para ahli teori sosial lebih peka memahami kesulitan-kesulitan, serta hambatan-hambatan untuk mereorganisasi masyarakat secara sosial dibandingkan para filsuf abad pencerahan. Tetapi muncul hal baru, dimana arti ‘suatu ilmu tentang masyarakat’ mencuat secara berbeda-beda. Seperti para ahli sosial dari Prancis dengan Jerman. Tekanan yang diberikan oleh ahli teori sosial prancis dengan tradisi positivisnya, jelas kecenderungan manusia dan masyarakat seperti halnya hukum-hukum alam, sehingga hanya bisa ditemukan dengan jenis teknik ilmiah yang sama dengan teknik penelitian empiris dalam ilmu pengetahuan fisik. Sementara ahli ilmu pengetahuan Jerman dengan historismenya, meskipun tertarik pula pada kecenderungan status sosilogi seperti halnya ilmu pengetahuan alam, tetapi mereka melihat berbeda dengan ilmu-ilmu alam. Misalnya posisi Max Weber yang sangat jelas, dengan memberikan distingsi antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu tentang masyarakat dan kebudayaan. Idenya tentang hakekat ilmu sosial yang meliputi arti dan kemauan manusia, mendorongnya membangun teknik atau metode analisis yang berbeda.

Kini, ketika kita menatap jauh ke depan, begitu jelas terhampar bahwa kecepatan dan kompleksitas perubahan sosial dalam masyarakat industri modern lebih besar dibandingkan dengan apa yang menjadi pengalaman hidup para ahli teori sosial masa silam. Perdebatanpun terus berkembang membuka pintu sampai pada kompleksitas kenyataan sosial. Muncul ilmuan-ilmuan yang memandang perlunya aktualisasi teori-teori besar yang telah ada. Namun kritik atas kemandegan terhadap teori-teori besarpun tak terbendung, menjadi pandangan baru untuk memecahkan masalah-masalah masyarakat. Bahkan muncul beberapa upaya untuk melakuakan dekontruksi atas kemapanan teori-teori besar dalam membaca kenyataan sosial yang terus berkembang. Namun harus dipahami juga bahwa betapapun derasnya kritik kritik hingga dekontruksi bergerak, kenyataannya sebuah teori lama tidak pernah berhasil dikubur. Bahkan kita menyaksikan pula keberadaan teori lama yang tampil bersandingan dengan teori-teori kontemporer.

Demikian teori-teori sosiologi ,memang tidak bisa memberikan formula dengan daya magis untuk menginterpretasikan kenyataan sosial atau membuat ramalan-ramalan masa depan ataupun memberikan jalan keluar terhadap isu-isu intelektual atau masalah yang dihadapinya. Tetapi kerangka konseptualnya dan intelektual dari persepektif sosiologi, serta gaya analisis yang diberikan oleh teori-teori tertentu dapat membantu kita untuk memahami dunia sosial kita. Pada gilirannya mampu menunjang obyektivitas dan kepekaan. Sekali lagi perlu dicatat bahwa bagaimanapun juga sebuah teori tetap harus dipelajari, sebab warisan ilmiahnya bisa menuntun kita dalam memahami kenyataan sosial. Dan harus dimengerti bahwa bagaimanapun juga dari Eropa-baratlah Sosiologi berkembang.

C. Sosiologi Sebagai Ilmu Multiparadigmatik
Thomas S. Khun, yang menunjuk pada asumsi-asumsi intelektual dasar yang dibuat oleh para ilmuan mengenai permasalahan-permasalahan yang disebut dengan istilah paradigma. Setidaknya Khun mengartikan suatu paradigma terdiri dari pandangan hidup (world view atau weltanchaung) yang dimiliki oleh ilmuwan dalam disiplin tertentu. Perbedaan-perbedaan antar paradigma ini, telah melahirkan perbedaan-perbedaan dalam orientasi masing-masing disiplin, yang tidak jarang melahirkan pertentangan antar mereka yang mewakili masing-masing paraigma. Bahkan tidak jarang konflik tersebut berjalan sekedar menurut rasional dan ilmiah saja. Ada dimensi politik dalam konflik itu yang mencerminkan indoktrinisasi dari para ilmuwan itu.

Mungkin kebanyakan ahli teori-teori sosial tidak akan menemukan alasan mendasar untuk bertengkar dengan pendirian intelektualnya. Pada akhirnya kita butuh kerendahan hati, paling tidak secara prinsip bahwa adanya ketidaklengakapan suatu teori apapun. Pengertian kita bahwa teori-teori yang berkompetisi itu dapat valid untuk tujuan dan kondisi tertentu.

Bagaimana dengan Sosiologi, apakah Sosiologi juga didominasi oleh suatu paradigma?. Jawaban ‘Ya’, jika semua hal mengenai Sosiologi dipahami memiliki asumsi dasar bahwa sikap-sikap, kebutuhan-kebutuhan, nilai-nilai, serta pola-pola perilaku individu yang fundamental sangat dibentuk oleh lingkungan sosialnya. Namun dibalik pandangan umum ini, terdapat perbedaan yang sangat mencolok dalam asumsi-asumsi dasar dari para ahli Sosiologi yang berhubungan dengan pokok permasalahan dan implikasinya terhadap metode-metode penelitiannya. Dengan menggunakan konsep paradigma Khun, Ritzer mengembangkan analisis yang tepat mengenai sosiologi sebagai ilmu multiparadigmatik, yang membedakan tiga paradigma yang secara fundamental berbeda satu sama lain, antara lain; Paradigma Fakta Sosial, Paradigma Definisi Sosial, dan Paradigma Perilaku Sosial. Paradigma fakta sosial diwakili oleh Emiel Durkheim, selama tahap perkembangan teori sosiologi klasik mendominasi. Pada masa kini terdapat dalam teori fungsionalisme dan teori konflik yang menekankan ide bahwa fakta sosial adalah riil, atau sekurang-kurangnya dapat diperlukan sebagai yang riil. Struktur sosial dan institusi sosial merupakan salah satu diantara fakta sosial itu yang mendapat perhatian khusus.

Paradigma definisi sosial menekankan hakekat kenyataan sosial yang bersifat subyektif, lebih dari pada eksistensinya yang terlepas dari individu. Selama tahap perkembangan teori klasik, paradigma ini diwakili dan dikembangkan oleh Max Weber dengan teori tindakannya. Lalu teori interaksionisme simbolik dari karya Herbert Mead, cooley, dan lain-lain. Teori-teori yang berbeda ini memiliki pandangan bahwa kenyataan sosial di dasarkan pada definisi subyektif individu dan penilaiannya. Tindakan-tindakan individu serta pola-pola interaksinya dibimbing bersama, yang dikontruksikan melalui proses interaksi.

Paradigma perilaku sosial, menekankan pendekatan obyektif empiris terhadap kenyataan sosial. Menurut paradigma perilaku sosial, data empiris mengenai kenyataan sosial hanyalah perilaku individu yang nyata. Pendekatan ini dikembangkan terutama dalam psikologi sosial, yang prinsip-prinsip dasarnya berasal dari Homans mengenai perilaku sosial.

Berbagai paradigma tersebut sesungguhnya memperlihatkan tingkatan-tingkatan kenyataan sosial, yang bisa dibedakan sebagai berikut:

1. Tngkat individu
Dalam tingkatan ini menempatkan individu sebagai pusat perhatian dalam analisis intinya. Perhatian tidak pada individu sebagai individu, melainkan pada satuan-satuan perilaku individu tersebut.

2. Tingkat antar individu
Kenyataan sosial pada tingkatan ini meliputi interaksi antar individu dengan semua arti yang berhubungan dengan komunikasi simbolis, penyesuaian timbal balik, negosiasi mengenai bentuk-bentuk tindakan yang saling tergantung, kerja sama atau konflik atar pribadi, pola-pola adaptasi bersama atau berhubungan satu-sama lain terhadap lingkungan yang lebih luas. Dua perspektif teoritis utama yang menekankan tingkatan ini adalah interkasionisme simbolik dan teori pertukaran.

3. Tingkat struktur sosial
Perhatian pada pembahasan tingkatan ini terletak pada pola-pola tidakan dan jaringan-jaringan interaksi yang disimpulkan dari pengamatan terhadap keteraturan dan keseragaman yang terdapat dalam waktu dan ruang tertentu. Satuan-satuan yang penting dalam kenyataan sosial ditingkatan ini dilihat sebagai posisi-posisi sosial (didefinisikan menururt hubungan yang kurang lebih stabil dengan posisi-posisi lainnya) dan peranan-peranan sosial (didefinisikan menurut harapan-harapan bersama akan perilaku orang-orang yang menduduki berbagai posisi). Dua aliran utama yang berhubungan dengan tingkatan ini ini adalah teori fungsionalis dan konflik.

4. Tingkat budaya
Tingkatan ini meliputi; arti, nilai, symbol, norma, dan pandangan hidup umumnya yang dimiliki bersama oleh anggota suatu masyarakat atau sekelompok anggota masyarakat. Dalam pengertian yang luas, istilah kebudayaan terdiri dari produk-produk tindakan dan interaksi manusia, termasuk benda-benda ciptaan manusia berupa materi dan dunia kebudayaan non-materi.

Penutup
Beberapa paradigma yang telah saya tulis diatas merupakan sebuah pengantar bagi siapa saja yang ingin belajar sosiologi, perkenalan dengan perspektif sosiologi langsung terkesan betapa kompleksnya kenyataan sosial itu dan betapa sulitnya memberikan penjelasan yang sederhana sekalipun mengenai dunia manusia sosial ini. Meski demikian peliknya, tetap saja secara terbuka ditangan kita bahwa kemerdekaa untuk memilih teori seluas-luasnya diberikan secara sah oleh sosiologi itu sendiri. Satu hal yang digaris bawahi bahwa masalah mendasar di dalam sosiologi yang bermaksud menjawab pertanyaan mengapa dan bagaimana masyarakat itu sendiri, dengan kata lain sebenarnya menuntun kita untuk menaruh perhatian secara arif pada upaya membangaun prinsip-prinsip untuk memahami kejadian-kejadian sosial.

Selamat Belajar…!
Terima kasih …!

Read More - Ilmu Sosiologi

Struktural Fungsionalis

Prakata
Jika kita akan melakukan analisa sosial, secara garis besar yang harus dipahami adalah tahapan-tahapan yang tepat antara lain: pertama, unit analisa apa yang sedang kita amati, unit analisa disini konteksnya yang akan kita bicarakan, apakah masyarakat, individu, budaya, ekonomi, atau system politik. Dengan mengetahui unit analisa tersebut kita dapat memfokuskan pada satu unit saja, berikutnya kita harus menggunakan satu disiplin ilmu yang khusus menganalisa unit tersebut dan menempatkan disiplin ilmu tersebut sebagai alat analisa, sehingga kita tidak terjebak ke dalam konsep analisa yang menyesatkan. Kedua, mengambil paradigma tertentu, paradigma dalam ilmu-ilmu social ,merupakan kesatuan cara pandang atau teori-teori dalam menganalisa unit social, semisal paradigma yang mengambil unit analisa struktur social masyarakat tentunya kita akan menggunakan paradigma strukturalis, dimana paradigma structural sendiri terdiri dari dua golongan yaitu struktural fungsionalis dan structural konflik. Paradigma yang lain yaitu, tingkat individu, paradigma inter personal, paradigma yang pertama banyak digunakan oleh ilmuan psikologi, sedangkan yang kedua tersebut digunakan oleh psikolog social, atau sosiologi inter personal

Dalam tulisan ini, akan diulas mengenai paradigma structural Fungsionalis maupun konflik, tujuannya tidaklain adalah untuk menjadikan panduan berfikir atau sebagai pisau analisa untuk membaca realitas social.

Tentang Struktural Fungsionalis
Salah satu paradigma yang dominan dalam sosiologi sebagai alat analisa adalah pendekatan struktural fungsionalis, sebelum kita mengenal lebih dekat paradigma tersebut, akan lebih mudah jika kita memahami konteks social lahirnya paradigma tersebut.

Pada abad ke 18, di prancis semenjak tumbangnya kekaisaran raja louis XVI dengan dijatuhkannya penjara bestile oleh para budak, petani kecil, dan para borjuis, kondisi masyarakat prancis semakin tidak teratur, runtuhnya system yang Monarki dan penataan masyarakat yang feodalistik, hal ini ditambah dengan munculnya borjuis dengan industri-industri baru, yang menggantikan Guilde yang merupakan industri abad ke 15. mereka melakukan suatu perubahan dengan menggantikan tatanan social feodalistik tersebut.

Ditengah kondisi sosio-politik yang tidak teratur tersebut, August Comte menyususn formulasi Metodologi untuk mengamati realitas social di prancis waktu itum dengan meyakini bahwa bandul sejarah tidak dapat diputar ulang, artinya masyarakat yang stabil dan harmonis di zaman monarki Feodalistik tidak dapat dikontruksi, sejarah terus melaju tanpa diketahui benar masyarakat apa yang sedang dihadapinya.

Kemudian dia mengajukan suatu pendapat bahwa ilmu-ilmu social haruslah seperti ilmu-ilmu alam yang ketat atau dengan kata lain ilmu social haruslah mengikuti metodologi ilmu-ilmu alam, mulai dari melihat realitas atau kenyataan social maupun sampai merumuskan hokum-hukum yang melandasi realitas tersebut. Bagi Comte, ilmu social adalah fisika social, ini berarti realitas social memiliki dengan realitas obyek alam, sehingga ilmu social harus memandang realitas social sebagai obyek serta bersikap bebas nilai untuk menunjang obyektifitas suatu realitas dan bias diukur atau dikuantifikasikan untuk dapat diramalkan hokum-hukum social yang melandasi terjadinya realitas tersebut.

Metodologi yang diuraikan diatas disebut sebagai Positifistik netode positif menjadi tren baru dalam menganalisa kondisi social masyarakat, atas usahanya dalam meletakkan nilai-nilai keilmiahan dalam ilmu social ini adalah August Comte yang disebut bapak Sosiologi.

Salah satu murid August Comte yang berjasa memasukkan Sosiologi sebagai disiplin ilmu dan menempatkan sosiologi di tempat yang layak dalam Universitas adalah Emile Durkhaim. Sumbangannya yang bermanfaat bagi analisa social adalah penjelasan mengenai apa itu Fakta?. fakta menurutnya merupakan segala sesuatu yang berada di luar manusia. Fakta bersifat obyektif, manusia tidak akan menemukan obyektifitas fakta apabila tidak melepaskan subyektifitas pribadinya, ini berarti untuk menemukan fakta yang obyektif, manusia harus netral, tidak boleh berasumsi pribadi, hal inilah yang disebut dengan bebas nilai. Ketiadaan bebas nilai dalam memandang fakta akan berakibat mendistorsi fajta itu sendiri dan menyeret fakta yang obyektif ke dalam tafsiran-tafsiran subyektif manusia.

Beberapa karya terutama milik durkheim dalam sosiologi adalah analisanya mengenai bunuh diri (suicide) yang marak pada masyarakat eropa. Masyarakat baru yang ‘kapitalistik’ (definisi Marx untuk masyarakat yang kapital) dicirikan dengan semakin banyaknya buruh-buruh di pabrik dan semakin banyaknya budak bebas yang kemudian mangadu nasib ke pusat-pusat industri, tifak seimbangnya jumlah industri yang sedang bergeliat dengan kebutuhan pekerja dan jumlah tenaga pekerja, menyebabkan pengangguran disana-sini. Nasib yang tidak baik di masyarakat barupun terjadi di sector industri, karena mengimbangi permintaan yang semakin meningkat, para pemiliki modal meningkatkan jumlah produksinya, konsekwensinya jam kerja buruh harus ditingkatkan, mempekerjakan anak-anak dibawh umur atau perempuan dan menekan upah buruh seminim mungkin.

Selain itu masyarakat baru tersebut mengoyak tatanan social yang sidah mapan, system kasta, jalur kekerabatan mulai luntur. Kondisi masyarakat baru yang semakin tidak menentu tersebut, tidak adanya harapan dan kepastian hidup membuat sebagian masyarakat mengalami anomie dan mengakibatkan stress yang berkepanjangan yang pada gilirannya menimbulkan bunuh diri yang semakin marak di masyarakat eropa saat itu.

Bagi durkhaim, individu-individu yang tidak bisa survive dalam masyarakat baru tersebut pasti akan mengalami anomie dan patologis, individu tersebut mengganggu fungsi harmonisasi masyarakat. Dan tawaran dia atas kondisi ini adalah dibentuknya suatu pranata atau lembaga yang bertugas untuk menyediakan ruang-ruang pendidikan supaya individu yang anomie dapat dididik agar mampu beradaptasi dengan lingkungannya sehingga mampu menciptakan harmonisasi dalam masysarakat.

Melengkapi penjelasan structural-fungsionalis, Herbert Spencer seorang ilmuan social asal Inggris, mengatakan bahwa pada dasarnya msyarakat tersusun dalam suatu system social yang bekerja seperti organisme biologis, organ-organ tubuh memiliki fungsi-fungsi sendiri sesuai dengan posisi masing-masing yang saling bekerja secara harmoni, semisal pada suatu ketika, mata kita melihat gadis cantik, saraf mentransfer ke otak dan otak bekerja menganalisa dan mengirimkan hasilnya kepada saraf yang dimulut dan kita mengatakan “Aduh…Cantiknya”. Begitu pula system social, individu-individu sebagai actor memiliki posisi-posisi dalam masyarakat dan melakukan fungsi-fungsi yang sesuai dengan posisi tersebut. Hubungan-hubungan actor-aktor tersebut yang menciptakan struktur social.

Salah satu contoh dalam struktur masyarakat kapitalistik, buruh memiliki fungsi bekerja di pabrik untuk menghasilkan barang –barang produksi, pemiliki pabrik sebagai pemilik modal yang bertugas memutar surplus untuk diinvestasikan lagi, petani bertugas menyuplai barang atau bahan baku, rantai hubungan antara fungsi ini mencerminkan masyarakat yang kapitalistik.

Penjelasan yang mutahir mengenai structural-fungsionalis adalah seperti yang dirumuskan oleh talcott parson dalam bukunya yang terkenal Theory Sosial Action, dalam buku tersebut dia menjelaskan bahwa tindakan manusia dalam struktur social yang hidup, yakni adanya saling keterkaitan antara bagian-bagian yang merupakan system itu dan mencakup pertukaran dengan lingkungan, dan mempunyai ciri umum, yakni prasyarat dan fungsional imperative. Secara deduktif Talcott Parson mengatakan terdapat 4 kebutuhan fungsional , antara lain; latent pattern-maintenance (L) sbsistem budaya, integration (I) subsistem social, goal attainment (G) subsistem kepribadian, Adaptation (A) subsistem organisme perilaku, (Soeprapto, 2002). Adapun hubungan fungsional tersebut dapat dilihat dari bagian berikut.

Setiap gerak sosial adalah suatu system yang mencakup subsistem-subsistem tertentu yaitu budaya, kepribadian, social, dan organisme perilaku (Soeprapto, 2002)

Struktural Konflik
Teori-teori structural konflik ini diidentikkan dengan karl Marx. Asumsi ini tidak kemudian menganggap bahwa mMarx-lah yang menciptakan teori structural konflik ini. Memang benar, Marx tidak pernah menyusun suatu argumentasi bahwa teori-teori yang dihasilkan berparadigmakan structural konflik, dan bahkan dia tidak pernah menganggap dirinya seorang strukturalis konflik. Namun, setelah Marx meninggal, para pemikir-pemikir Marxis-lah yang kemudian menyebut bahwa teri-teori Marx berparadigmakan strukturalis konflik dan mereka yang menyebut dirinya marxis memiliki paradigma structuralis konflik.

Dimulai oleh Karl Marx dan rekan sejawatnya Fredrich Engels dalam tulisan mereka Communist Manifesto yang mencoba menganalisa hokum-hukum perkembangan masyarakat semenjak zaman komunisme purba, berburu, berladang, bertani, hingga zaman capital. Dalam menganalisa perkembangan masyarakat tersebut, mereka menemukan bahwa dalam suatu perkembangan masyarakat terjadi dan melewati kontradiksi yang disebut revolusi, yang pada kontradiksi tersebut memutasi kuantitas menuju kualitas yang menjadi embrio dan akan melahirkan masyarakat baru yang berbeda sama sekali dengan masyarakat sebelumnya. Prasyarat melahirkan masyarakat baru tersebut, sudah terkandung dalam masyarakat lama dan menunggu fragmentasi kelas tertindas untuk melawan kelas penindas.

Marx dewasa dalam alam yang kacau dan belum diketahui betul masyarakat apa yang sedang dihadapinya, dia hidup sezaman dengan Durkhaim, namun memiliki perbedaan yang khas dalam cara pandang untuk melihat masyarakat. Marx merupakan seorang Sarjana Ekonomi dan Doktornya pada keahlian Filsafat dan dia dididik dalam khasanah Jerman yang memiliki tradisi keilmuan History (Historis) yang gagasan besar keilmuan tersebut, bahwa suatu kejadian memiliki runtutan sejarah dengan kondisi sebelumnya, secara sederhananya suatu kejadian tidak berada dalam ruang dan waktu yang hampa, kejadian yang merupakan suatu hasil dari dialektika yang terjadi dikarenakan unteraksi anatar factor atau unsure yang saling berhubungan.

Progresifitas dalam memandang masyarakat yang berarti masyarakat akan mengalami perkembangan atau evolusi kearah yang lebih maju dari masyarakat sebelumnya, tidak dipungkiri hal ini merupakan sumbangan dari positivisme Prancis. Pada abad 18 di prancis berkembang aliran-aliran sosialisme, dari sini pula Marx berkenalan dengan beragam aliran sosialisme mulai dari yang utopis, idealis maupun aliran sosialisme yang lain.
Perpaduan Materialisme, Historis German, dan Positivisme prancis serta realitas masyarakat baru yang dilihat oleh Marx. Industri-industri baru hanya mengeruk keuntungan bagi pemilik pabrik, camp-camp buruh yang tidak layak huni, mempekerjakan anak-anak dan perempuan, jam kerja yang tidak manusiawi, kesehatan yang tidak terjamin serta upah buruh yang rendah membawanya untuk melihat ke dalam masyarakat baru tersebut.

Penemuannya mengenai surplus value atau teorinya mengenai nilai lebih, membongkar realitas masyarakat baru yang kemudian diberi nama Masyarakat Kapitalis. Surplus value sederhananya, merupakan harga suatu produk sama dengan (=) teknologi ditambah (+) barang modal ditambah (+) upah buruh, harga yang diproduksi berbeda dengan harga yang dijual ke pasar, ini artinya terdapat profit, keuntungan inilah yang kemudian tidak dibagi secara merata dengan para buruh, tetapi terakumulasikan ke tangan pemilik pabrik (alat produksi).

Pencurian secara sitematis inilah, yang bagi Marx menjadi kontradiksi pokok dalam masyarakat kapitalis, penindasan yang semakin tersistematis pada buruh dengan akumulasi yang semakin besar pada pemilik modal, yang pada waktunya menciptakan fragmentasi yang secara tegas membedakan kelas0kelas dalam masyarakat, yaitu kelas kapitalis dengan kelas buruh (proletar).

Masyarakat kapitalistik menciptakan tatanan superstruktur (ideology, budaya, system nilai, agama, hokum, ilmu, dan lain-lain). Yang meng-Alienasi (bahasa Durkhaim Anomie) individu-individu, artinya kelas capital menciptakan seperangkat ideology yang meninabobokkan kesadaran kritis masyarakat, kelas penindas tersebut sangatlah canggih menciptakan kesadaran palsu pada buruh. Jadi disini, beda antara Marx dengan Durkhaim, bahwa alienasi atau anomie atau patologis, bagi Marx tidak disebabkan oleh ketidakmampuan individu untuk survive, tapi kondisi structural masyarakat kapitalis-lah yang menyebabkan semua itu, masyarakat kapitalis-lah yang sakit dan perlu dirubah.

Baginya membuka tabir kesadaran palsu akan membuka kesadaran kritis buruh atas kondisi social yang dialaminya dan akan menciptakan fragmentasi kelas yang permanent dalam masyarakat kapitalistik tersebut akan tumbang dan digantikan oleh masyarakat yang sosialistik, jika terjadi revolusi yang dipimpin oleh kelas proletar dan melakukan penguasaan atas alat produksi, serta membagi secara adil dan merata keuntungan dari hasil produksinya.

Dari ulasan mengenai cara pandang Marx terhadap masyarakat kapitalis, Marx melihat secara structural bagaimana masyarakat kapitalis terbagi dalam fungsi-fungsi dari posisi yang ditempati oleh buruh atau kapitalis, namun pembagian posisi tersebut menguntungkan satu kelas dan merugikan kelas yang lainnya. Kondisi inilah yang secara structural akan menciptakan konflik yang permanent dalam masyarakat kapitalistik. Konflik tersebut akan terselesaikan jika kelas yang tertindas (proletar) memegang kendali atas penguasaan alat produksi.

Penutup
Dalam akhiran kata ini, akan sedikit disimpulkan bagi para aktivis mahasiswa, yang akan melakukan analisa masyarakat, seperti yang telah ditulis lebih awal, paradigma ini hanya sebagai microskop, sebagai kaca mata, atau panduan untuk melihat masyarakat. Tentunya, yang perlu digarisbawahi dalam tulisan ini, panduan tersebut adalah metodologi bukan hasil yang ditulis Augusty Comte, Emeil Durkhaim, ataupun Karl Marx.

Konteks Historis, structural masyarakat Indonesia berbeda dengan masyarakat Eropa saat pemikir social itu hidup maupun saat ini. Analog microskop bagi metodologi sangatlah tepat, semisal kita menggunakan microskop/strukturalk konfliknya Marx untuk menganalisa kondisi masyarakat Indonesia. Tentunya, perbedaan kondisi materi (kondisi social, politik, ekonomi, maupun budaya) semasa Marx hidup dengan zaman kita sekarang, maka tentunya akan menciptakan perbedaan hasil analisa pula. Jika, kita membaca hasil yang dirumuskan oleh Marx untuk membaca kondisi masyarakat sekarang tentunya akan terjadi kesesatan berfikir, dan tentunya jika dengan hasil kita menganalisa maysarakat, tentunya kita bukan seorang Marxis !!!

Selamat belajar ….!
Terima kasih …!
 
Read More - Struktural Fungsionalis

Teka-teki Tentang Otak

Alam organik tumbuh dari alam tak hidup; alam yang hidup menghasilkan satu bentuk yang sanggup membuat pemikiran. Pertama-tama, kita memiliki materi, yang tidak dapat berpikir; dari mana tumbuh materi yang dapat berpikir, manusia. Jika memang ini yang terjadi - dan kita tahu bahwa demikianlah halnya, dari ilmu alam - jelaslah bahwa materi adalah ibu dari pikiran; bukan pikiran yang menjadi ibu dari materi. Anak-anak tidak pernah lebih tua dari orang tua mereka.

'Pikiran' datang belakangan, dan maka dari itu kita harus menganggapnya sebagai keturunan, dan bukan orang tua ... materi ada sebelum munculnya manusia yang berpikir; bumi ada jauh sebelum munculnya 'pikiran' apapun di permukaannya. Dengan kata lain, materi ada secara objektif, tidak tergantung dari 'pikiran'. Tapi gejala-gejala fisik, yang disebut 'pikiran' itu, tidak pernah dan tidak akan hadir tanpa materi. Pikiran tidak ada tanpa otak; nafsu adalah mustahil tanpa ada organisme yang memiliki nafsu itu .... Dengan kata lain; gejala fisik, gejala kesadaran, adalah sekedar ciri dari materi yang terorganisir dalam cara tertentu, satu 'fungsi' dari materi semacam itu." (Nikolai Bukharin) "Interpretasi atas mekanisme otak merupakan satu dari misteri biologis yang terakhir, tempat pengungsian terakhir dari mistisme gelap dan filsafat religius yang penuh spekulasi." (Steven Rose) Selama berabad-abad, seperti yang telah kita lihat, isu sentral dari filsafat adalah pernyataan tentang hubungan antara pikiran dan keberadaan. Kini, setelah menunggu begitu lama, langkah-langkah besar yang telah dibuat oleh ilmu pengetahuan mulai menyingkap sifat sejati dari pikiran dan bagaimana ia bekerja. Kemajuan-kemajuan ini menyediakan konfirmasi yang tegas terhadap cara pandang materialis. Hal ini demikian halnya terutama berkaitan dengan kontroversi antara otak dan neurobiologi. Tempat persembunyian terakhir bagi mistisisme kini tengah digempur habis-habisan, walau itu juga tidak dapat mencegah para idealis untuk melancarkan aksi-aksi garis belakang yang keras kepala, seperti yang ditunjukkan kutipan di bawah ini: Ketika menjadi mustahil untuk menyelidiki unsur-unsur non-material dari penciptaan ini, banyak orang kemudian mengabaikannya. Mereka berpikir bahwa hanya materilah yang riil. Maka pemikiran kita yang terdalam sekalipun harus direduksi menjadi bukan apa-apa selain hasil dari sel-sel otak yang bekerja menurut hukum-hukum kimia. ... Kita boleh menelaah respon elektrik otak yang mengiringi pikiran, tapi kita tidak dapat mereduksi Plato menjadi sekedar denyutan syaraf, atau Aristoteles menjadi sekedar gelombang alpha. ... Penggambaran tentang pergerakan fisik tidak akan pernah menyingkapkan makna pergerakan itu sendiri. Biologi hanya dapat menyelidiki dunia neuron dan sinapsis yang saling mengunci satu sama lain itu.

Apa yang kita sebut "pikiran" adalah sekedar cara mengada dari otak. Tentu ini adalah satu gejala yang teramat rumit dan penuh komplikasi, hasil dari berjuta tahun evolusi. Kesulitan dalam menganalisa proses kompleks yang terjadi dalam otak dan sistem syaraf, dan kesalingterhubungan yang sama kompleksnya antara proses mental dan lingkungannya, bermakna bahwa pemahaman yang tepat atas sifat pikiran telah tertunda selama berabad-abad. Penundaan ini telah memungkinkan para idealis dan teolog untuk berspekulasi tentang sifat mistis dari apa yang mereka sebut "jiwa", yang dipandang sebagai sebuah zat non-material yang diijinkan untuk mengambil tempat sementara di dalam tubuh. Kemajuan neurobiologi modern berarti bahwa kaum idealis akhirnya mulai benar-benar diusir dari tempat pengungsian terakhir mereka. Sejalan dengan semakin terbukanya rahasia-rahasia di balik otak dan sistem syaraf, semakin mudahlah untuk menjelaskan pikiran, tanpa harus menyandarkan diri pada agen-agen supernatural, sebagai jumlah total dari aktivitas otak.

Mengutip ahli neurobiologi Steven Rose, pikiran dan kesadaran adalah "... konsekuensi yang niscaya dari evolusi struktur otak tertentu yang berkembang dalam serangkaian perubahan evolusioner dalam yang ditempuh oleh kemunculan umat manusia ... kesadaran adalah satu konsekuensi dari evolusi dari satu tingkatan kompleksitas dan derajat interaksi tertentu di antara sel-sel syaraf (neuron) dari vorteks serebral, sementara bentuk yang diambilnya telah dimodifikasi secara mendasar bagi tiap otak individual oleh perkembangannya dalam hubungannya dengan lingkungannya
Read More - Teka-teki Tentang Otak

Sistem Ekonomi Gulde

Tentang Guilde
Disamping manor-manor yang terdapat juga sisa kota-kota romawi, dan kota-kota kecil ini semuanya memerlukan suatu saluran pasar untuk melayani mereka dan merupakan unit sosial yang sangat berbeda dengan manor dimana hukum dan kebiasaan berlaku terhadap mereka. Walaupun ada kota yang dilindungi oleh manor, penduduk kota sedikit demi sedikit dapat membebaskan dirinya dari keharusan untuk tunduk pada peraturan-peraturan tuan tanah. Berlainan dengan hukum yang berlaku bagi manor, di kota-kota berkembang hukum yang mengatur kegiatan-kegiatan perdagangan. Akhirnya di dalam kota-kota itu sendiri terdapat pusat-pusat industri abad pertengahan. Manor yang paling besar sekalipun tidak dapat memenuhi semua kebutuhannya jangankan untuk memperluasnya. Bila diperlukan Jasa-jasa atau barang-barang yang dihasilkan seperti kaca harus dibeli dari tukang kaca, batu harus dibeli dari penggali batu, besi harus dibeli dari pandai pembuat besi dan lain sebagainya. Dan semua arang-barang ini dapat diperoleh di kota-kota waktu itu dan tukang-tukang ini biasanya tergabung dalam serikat sekerja. Serikat sekerja ini dinamakan Guilde dan organisasi sekerja ini berasal dari zaman Romawi. Guilde ini merupakan kesatuan usaha abad pertengahan. Seseorang tidak dapt berusaha kalau tidak menjadi anggota Guilde. Jadi Guilde merupakan suatu serikat kerja bersifat eksklusif. Tokoh yang dominan dalam Guilde ini adalah pimpinan Guilde atau pemilik pabrik merdeka.

Guilde pada kota-kota abad pertengahan tedapat berbagai macam waktu itu, sperti guilde pembuat sarung tangan dan tukang rajut, pembuat topi dan penulis, masing-masing dengan alat produksinya, cara hidup dan peraturan tersendiri, tapi bila kehidupan dalam guilde sangat berbeda dengan kehidupan yang terjadi pada masyarakat manor. Guilde merupakan cikal bakal kehidupan modern di hadapi abad pertengahan dengan proses yaqng tidak singkat..

Awalnya guilde lebih dari hanya suatu lembaga untuk mengatur produksi, sebagian peratuaran-peraturannya mengatur tentang gaji, kondisi kerja dan standardisasi hasil produksi, tapi disamping itu mereka juga mengatur tingkah laku anggota-anggotanya. Disamping mencari untug, guilde juga bertugas untuk melindungi cara hidup untuk dapat memberikan penghasilan yang pantas kepada pemimpin guilde dan pekerjanya, tapi juga menghalangi mereka untuk menjadi usahawan besar dan monopoli. Guilde disusun sedemikian rupa untuk menghindari terjadinya persaingan diantara anggota-anggotanya. Persaingan dilarang, besarnya laba ditentukan. Reklame dilarang bahkan kemajuan teknik yang lebih baik dari anggota-anggota lainnya dianggap sebagai pelanggaran. Pedagang tidak dibenarkan membujuk pembeli supaya datang ke tokonya ataupun tidak boleh memanggil seseorang yang sedang berurusan dengan anggota guilde lainnya, juga tidak dibenarkan membuat sandang dengan cara yang berlainan dari rekan-rekannya. Cara membuat sandang dan standard sandang yang dihasilkan kalau perlu dapat diperiksa oleh anggota lainnya, jika terdapat pelanggaran maka dia dapat dikenakan denda yang sangat berat.

Dari uraian diatas kita mendapat gambaran suatu perkembangan ekonomi di abad pertengahan dari zaman feudal, sangat jauh untuk kita mengatakan bahwa pada guilde ini telah ada sentuhan ekonomiu modern, disini tidak bebas mentukan harga, tidak ada monopoli, tidak ada penyelidikan untuk kemajuan, guilde terpaksa berusaha menghidarkan resiko untuk perusahaan mereka yang lemah. Tujuan yang ingin dicapainya bukanlah kemajuan tapi melindungi yang ada dan menjaga stbilitasnya.
Penulis : Hendri Ansori
Read More - Sistem Ekonomi Gulde